Cerita ini sebetulnya sudah lama,
terjadi tahun 2009 ketika Farras masih berusia 3 tahun.
****************
Disudut kota serang, kota tempat
saya dilahirkan dan dibesarkan, ada sebuah toko grosir mainan anak-anak yang
cukup besar.dan komplit. Setiap hari toko tersebut dipadati pengunjung yang
kebanyakan pedagang keliling mainan anak-anak. Selain itu juga banyak orangtua,
maupun anak-anak yang membeli secara eceran. Saya memperkirakan omzetnya cukup
tinggi, bisa jadi labanya pun perbulan bisa melebihi gaji pokok seorang pejabat
PNS Eselon II atau bahkan mungkin seorang GM pada sebuah perusahaan swasta, terlihat
dari aset yg mereka punya baik barang dagangan, gedung, kendaraan dan juga
karyawan-karyawan yg cukup banyak. Syukur Alhamdulillah, sebuah bisnis yg
berjalan tanpa harus bersinggungan/berhubungan dengan aparat pemerintahan yang
kebanyakan (tidak semuanya) latah ingin ikut-ikutan bisnis dengan para
pengusaha.J
Saya, suami saya dan Farras pernah beberapa kali berkunjung untuk membeli
beberapa mainan, lumayan cukup murah dibanding membeli di Mall-Mall yang
mengenakan tarip sewa /pajak/pungutan yang lumayan bisa membuat harga jual
tinggi kepada konsumen. Selain itupun kami bisa menyesuaikan budget yang kami
miliki, yang penting mainan terbeli, dan anak saya Farras merasa senang walau
umur mainan tersebut tidak terlalu lama karena dimutilasi setiap kali bermain.
Biasa dipanggil Bu Haji namanya, yang langsung menghandle transaksi jual beli (bos
merangkap kasir) di toko tersebut, memakai kerudung yang menutupi rambut (bukan
jenis jilbab), memakai beberapa perhiasan, perawakannya masih muda, pendatang, berlogat
jawa, terlihat segar, sedikit terkesan jutek..(maap Bu Haji… .ini kesan pertama
saya ketemu). Beberapa kali saya pernah menyaksikan sambil tersenyum dan
termehek-mehek, anak-anak kecil yang berbondong-bondong datang berkunjung untuk
membeli beberapa mainan, digiring oleh pegawai-pegawainya untuk segera melakukan
pembayaran di depan Bu Haji. Memang saat itu Bu Haji mengingatkan pegawainya
untuk menyuruh anak-anak tersebut segera melakukan pembayaran, tetap dengan
wajah setengah jutek sambil berkata lirih :”Awasi koh bocah-bocah bokan padeu
kabur.” (awasi anak-anak nanti takut pada kabur). Biasanya saya cuma tersenyum
saja tanpa berkomentar, dasar anak-anak sambil senyum-senyum mereka satu persatu
merogoh uang dari kantongnya, sambil berujar, “Ini ada uangnya Bu hajiiii….moal
kabur..bayar pasti….” *sambil nyengir malu-malu* Entah pengalaman apa yg
membuat Bu Haji begitu over protected dan parno terhadap para customernya,
terutama anak-anak. Maklum juga seeeh karena sistim transaksinya masih dengan
cara konvensional dan tanpa pengaman kamera yang siap menangkap para pengutil layaknya
di Mall-Mall besar, cukup dengan menggunakan mata telanjang dan sesekali
berteriak mengingatkan, mereka memilih lelah mungkin, daripada harus ribet memikirkan
manajemen dagang/toko, yang penting barang habis duit
kumpulllll…Amiin…….*terbukti kok sekarang sudah tajir*
Siapa sangka gaya pengawasan terpadu dan melekatnya Bu Haji n crew, akhirnya
menimpa juga pada kami yang sebelumnya tidak sampai terpikir bisa bakal mengalami
hal serupa seperti anak-anak, malahan ini lebih tragis dan menyedihkan. Beberapa
bulan yg lalu kami (saya, suami saya dan Farras) berkunjung ke toko tersebut untuk
memenuhi permintaan Farras yang ingin memiliki sebuah mobil-mobilan yang dia lihat
di rumah tetangga. Mobil Ambulance yang dia
minta,,,nguing..nguing…nguing…begitu dia menirukan suara mobil tersebut. Sebagai
ortu, selagi ada, kami langsung memenuhi permintaannya. Seperti biasa sore itu,
tempat Bu Haji ramai dipadati pengunjung, baik pedagang eceran ataupun
perorangan. Terlihat Bu Haji begitu sibuk menerima dan melayani uang (yang
kebayakan sudah lecek) kembalian dari para customernya. Seperti biasa dengan
wajah tanpa senyum (setengah jutek) dan tanpa ada basa-basi “say thanks” pada
customernya, beda banget dengan para kasir di mall-Mall, yang cantik dan selalu
mengumbar senyuman ke setiap pengunjung *tuntutan manajemen kali ya* bisa-bisa
kering itu gigi kebanyakan nyengir J. Kami mulai bergerilya untuk memilih mainan yang bagus dan
sesuai permintaan anakku Farras. Sempat beberapa kali bolak-balik memilih
beberapa mainan, yang ini terus gak jadi, ganti lagi dan gak jadi lagi.. sampai
akhirnya karyawan perempuan yang masih muda nyeletuk pada suami saya, karena
memang yang wara-wiri menukar mainan adalah suami saya : “Udah dong pak jangan
milih-milih teruuus….” *sekarang bener-bener dengan menunjukan paras jutek*.
Suami saya terlihat kaget ditegur begitu, saya juga ikut kaget dan sempat
berpikir apa ini hasil kaderisasi/training dari sang bos/majikan yang memang
agak setengah jutek, atau memang sudah merasa tertekan dengan sistem yang
diterapkan majikan. Wallahu A’lam, suami saya gak mau kalah menjawab : “Namanya
juga anak-anak mbak, lagian kita kan pembeli, harus dilayani dengan ramah
dong…” *kali ini suami saya ikut-ikutan
bernada jutek pula*, saya hanya diam, karena memang dasarnya tidak pernah
banyak bicara, walau sebenarnya bisa lebih jutek lagi dari si mbak dan suami saya
hehehe… Sampai akhirnya suami saya ngeloyor dan sambil ngomong ke si mbak : “Saya
akan bayar nih langsung, mbak liatin ya??” Murah memang mainannya, cuma
Rp.25,000,- sambil melangkah ke tempat Bu Haji, saya berbisik : “Yah, masih ngomel-ngomel
tuh si mbaknya.”
“Biarin ajalah Bu.” Suami saya
menjawab.
Sempat ngantri kami di depan Bu Haji, karena kebetulan banyak yang sedang
melakukan transaksi, ya…. tanpa nota memang, bayar sesuai harga dan langsung
boleh dicoba, complain barang dilayani saat itu pula, begitu keluar toko,
pelayanan “after sales services” tidak berlaku lagi. Sambil tetap melayani yang
lain, Bu Haji pun menghandle pembayaran barang yang saya beli, sambil sedikit
berteriak ke si mbak “pireu iki (berapa ini)”, menanyakan harga barang yang
saya bawa. ”25 ribu..” Sahut si mbak. Saya mengeluarkan dompet, dan
mengeluarkan uang Rp.50rb-an, lalu memberikan pada suami saya, dan suami saya
memberikan pada Bu Haji sambil sibuk mengerjakan yang lain, Bu Haji memberikan
uang kembalian 2 10rb-an, 1 5rb-an. “Maksih ya Bu Haji??” “Ya..” sahut Bu Haji pendek sambil tidak
menatap ke wajah suami saya, karena dia
sedang sibuk melayani….maklumlah saya…. Tiba sekarang mainan dicoba, sambil
dipandu pelayan cowok, si ambulance berputar-putar kesana-kemari, dan saat
bersama pun terlihat seorang anak sedang mencoba mainan pesawat yg menurut saya
lebih menarik…,anak saya melirik, dan langsung bilang ke ayahnya :..”Yah itu
aja…sambil menunjuk mainan tersebut.” Suami saya nanya pada pelayan: “Bisa
tukerkah?” si pelayan mengangguk, dan memang kebetulan punya harga yang sama. Langsung
suami saya menuju ke si mbak tadi,dan kali ini suami saya lebih lembut sambil
mohon maaf untuk menukar barang tersebut, dan suami saya bilang bahwa dia sudah
membayar tadi ke Bu Haji, si mbaknya mengangguk menyetujui, lebih cool.. karena
memang suami saya saat itu menunjukan rasa bersalah. Alhamdulillah….,Pesawat
pun dicoba,,, terlihat senang anak saya melihat mainan layaknya pesawat beneran
yang sedang ancang-ancang lepas landas, bungkus mang!! dan suami saya lalu
kembali menghampiri Bu Haji *seharusnya tidak suami saya lakukan* untuk bilang
bahwa mainan tadi saya tukar dengan harga yang sama….Bu Haji mengangguk, dan
terlihat jelas bahwa Bu Hajji sedang mengingat sesuatu… beberapa langkah lagi
kami keluar toko, tiba-tiba suami saya ditegur seorang pelayan ”Pak dipanggil
Bu Haji.” Ups….suami saya terlihat kaget, begitu pun saya, “Ada apa Bu Haji?”
Tanya suami saya. ”Bapak belum bayar ya
tadi?” Kata Bu Haji. Saat itu suami saya
terlihat kaget sekali, dan langsung saja suami saya menerangkan, bahwa suami saya
sudah bayar, saya yang mengeluarkan uang dengan nominal 50rb dan suami saya juga
menyebutkan jumlah pecahan yang Bu Haji berikan pada suami saya. Lalu suami
saya menunjukkan uang kembalian yg ditaro di kantung baju saya. Bu Haji tetep
saja nggak ngerasa bahwa dia sudah menerima uang, walau saya pun ikut
meyakinkan dia, malah sempat saya terpancing mengucapkan sumpah segala “DEMI
Allah Bu Haji”,yang kemudian suami saya ingatkan untuk tidak berkata seperti
itu.”Terus maunya Bu Haji gimana, kami sudah mengatakan dengan jujur, tapi
tetep saja Bu Haji tidak percaya”,…..”Gak tau saya, yang jelas saya gak ngerasa
menerima.” Kesel saya saat itu, juga suami saya. Suami saya terlihat sangat
emosi. Akhirnya suami saya mencoba mencari dukungan pada karyawan-karyawan
disana, karena kami yakin beberapa orang melihat kami melakukan transaksi
dengan pecahan uang Rp.50rb. Di luar dugaan, semua karyawan hanya diam, tidak
ada jawaban satu patah katapun. Saat itu seluruh pengunjung sudah mulai
memperhatikan perdebatan kita. Memang lumayan keras suara suami saya, karena
emosi yang setengah terkendali.,..saat itu suami saya terlihat buntu untuk
mengeluarkan kata-kata yang bisa meyakinkan Bu Haji yang sudah trauma dan
mengalami krisis kepercayaan pada siapapun. Suami saya menghela nafas panjang dan
mencoba kembali mengatakan dengan sejujurnya *kali ini dengan suara yg lembut*
siapa tau Bu Haji bisa 100% percaya pada kami. Hah memang udah dasar wataknya, dia
tetep aja bilang bahwa dia gak pernah menerima pembayaran dari saya. Saya
melihat suami saya mencoba melihat satu persatu karyawan-karyawan yang ada
disana, terlihat memang semuanya diam netral, entah apa yang sedang mereka
pikirkan, mendukung sayakah, atau sebaliknya mendukung majikan. Sampai akhirnya
mata suami saya tertuju pada seorang cewek muda disamping Bu Haji,yang tadi sepertinya
terlupakan untuk suami saya tanya, keliatannya sih anaknya, karena dia pun
membantu beberapa menghandle transaksi di toko tersebut, dia pun diam, mungkin
sambil mengingat-ingat.
Uang yang diributkan jumlahnya relatip kecil, tapi kalau kami membayar ulang,
itu berarti Bu Haji akan menambah yakin kalau kami belum bayar. Itu yang tidak
saya inginkan. Ini masalah harga diri, bukan hanya uang……. apalagi seisi toko
sudah memperhatikan perdebatan kita. Sempat saya berbisik menyuruh membayar
lagi. Tapi saat itu sudah kepalang tanggung. Sepertinya suami saya penasaran
sampai dimana keteguhan Bu Haji utuk meyakini apa yang dia pikirkan.
Disela-sela kepenatan dan sedikit emosi, suami saya akhirnya mulai mengambil
langkah negosiasi lagi. Kali ini agak sedikit menggunakan trik : menyerah, tapi
uang itu berharap kembali lagi pada kami….””*dengan nada pelan* suami saya
berkata : ”Oke Bu Haji, saya mau serahkan uang ini, tapi tidak untuk membayar
mainan ini, tapi ini ikhlas dari saya untuk bersodakoh/infak pada Bu Haji, dari
kami bertiga….” Tepat yang suami saya duga, Bu Haji langsung mendorong tangan
saya sambil berkata : “Hah…. enak aja, saya gak mau kalo disodakohi, la wong
saya cukup.” *kali ini Bu Haji terlihat lelah menghadapi pengakuan saya* Suami
saya terlihat senang, emosi dan ego Bu Haji sudah berhasil dikuasai suami saya,
dan entah kenapa suami saya yakin banget bahwa semua perdebatan akan berakhir.
Terakhir suami saya bilang “Bu Haji ini
gimana….. saya mengatakan dengan jujur, Bu Haji gak percaya, terus saya
mengalah, Bu Haji juga gak mau nerima, terus Bu Haji maunya apa???” Kali ini suami
saya sudah di atas angin. Kami melihat Bu Haji agak sedikit gugup, walau dia
masih kekeh aja dengan keyakinannya, sampai akhirnya gadis yang disamping Bu Haji
mendekat dan berkata lirih: “Mak… iyeu uwis bayar Bapak iku (bu,iya bapak itu
udah bayar).” ”Udu sing mau jeh ngomong.” (bukan dari tadi bilang) jawab Bu
Haji. Saat itu juga suami saya langsung menyambar bicara: ”Iya khan Bu Haji, bener
kami udah bayar, la wong pada diem semua ditanya, makanya lain kali hati-hati
menuduh orang.” Dan kami pun balik kanan menuju keluar tentu dengan sedikit
mengumpat. Di depan toko seorang pengunjung bapak-bapak bilang, Bu Haji emang
begitu mas, suami saya jawab dengan senyum kecut aja dan langsung pulang. Di
perjalanan suami saya bilang pada saya: ”Kita gak usah kesana lagi, cukup terakhir
tadi, kesian Bu Haji nanti kalo ketemu kita lagi, dia akan malu.” Justru
sekarang yang kami bingungkan, sampai akhir perselisihan Bu Haji gak pernah
yakin dengan pengakuan kami. Kami terbebas dari tuduhan karena seorang pegawai
(mungkin saudara/anaknya) melaporkan bahwa dia melihat kita bertransaksi, walau
awalnya penuh keraguan dan akhirnya terlambat, gak selamanya pengakuan yang
jujur dan pasrah, bisa begitu aja dipercaya orang lain. Ato jangan-jangan
penampilan kita yang dianggap seperti penipu???? :D
**Maafkan kami Bu Haji, jika telah membuatmu tak percaya dan sempat menyinggung
perasaan dan sebaliknya kami sudah memaafkan, jika memang Bu Haji merasa
bersalah**
Waalahu A’lam..
,
**foto lokasi sengaja tidak ditampilkan, untuk menjaga nama baik.