Wednesday, March 05, 2014

Diplomasi Yang Gagal di Sebuah Toko** : Pemilik Toko Yang Memiliki Krisis Kepercayaan Pada Orang Lain


Cerita ini sebetulnya sudah lama, terjadi tahun 2009 ketika Farras masih berusia 3 tahun.


****************
Disudut kota serang, kota tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, ada sebuah toko grosir mainan anak-anak yang cukup besar.dan komplit. Setiap hari toko tersebut dipadati pengunjung yang kebanyakan pedagang keliling mainan anak-anak. Selain itu juga banyak orangtua, maupun anak-anak yang membeli secara eceran. Saya memperkirakan omzetnya cukup tinggi, bisa jadi labanya pun perbulan bisa melebihi gaji pokok seorang pejabat PNS Eselon II atau bahkan mungkin seorang GM pada sebuah perusahaan swasta, terlihat dari aset yg mereka punya baik barang dagangan, gedung, kendaraan dan juga karyawan-karyawan yg cukup banyak. Syukur Alhamdulillah, sebuah bisnis yg berjalan tanpa harus bersinggungan/berhubungan dengan aparat pemerintahan yang kebanyakan (tidak semuanya) latah ingin ikut-ikutan bisnis dengan para pengusaha.J

Saya, suami saya dan Farras pernah beberapa kali berkunjung untuk membeli beberapa mainan, lumayan cukup murah dibanding membeli di Mall-Mall yang mengenakan tarip sewa /pajak/pungutan yang lumayan bisa membuat harga jual tinggi kepada konsumen. Selain itupun kami bisa menyesuaikan budget yang kami miliki, yang penting mainan terbeli, dan anak saya Farras merasa senang walau umur mainan tersebut tidak terlalu lama karena dimutilasi setiap kali bermain.

Biasa dipanggil Bu Haji namanya, yang langsung menghandle transaksi jual beli (bos merangkap kasir) di toko tersebut, memakai kerudung yang menutupi rambut (bukan jenis jilbab), memakai beberapa perhiasan, perawakannya masih muda, pendatang, berlogat jawa, terlihat segar, sedikit terkesan jutek..(maap Bu Haji… .ini kesan pertama saya ketemu). Beberapa kali saya pernah menyaksikan sambil tersenyum dan termehek-mehek, anak-anak kecil yang berbondong-bondong datang berkunjung untuk membeli beberapa mainan, digiring oleh pegawai-pegawainya untuk segera melakukan pembayaran di depan Bu Haji. Memang saat itu Bu Haji mengingatkan pegawainya untuk menyuruh anak-anak tersebut segera melakukan pembayaran, tetap dengan wajah setengah jutek sambil berkata lirih :”Awasi koh bocah-bocah bokan padeu kabur.” (awasi anak-anak nanti takut pada kabur). Biasanya saya cuma tersenyum saja tanpa berkomentar, dasar anak-anak sambil senyum-senyum mereka satu persatu merogoh uang dari kantongnya, sambil berujar, “Ini ada uangnya Bu hajiiii….moal kabur..bayar pasti….” *sambil nyengir malu-malu* Entah pengalaman apa yg membuat Bu Haji begitu over protected dan parno terhadap para customernya, terutama anak-anak. Maklum juga seeeh karena sistim transaksinya masih dengan cara konvensional dan tanpa pengaman kamera yang siap menangkap para pengutil layaknya di Mall-Mall besar, cukup dengan menggunakan mata telanjang dan sesekali berteriak mengingatkan, mereka memilih lelah mungkin, daripada harus ribet memikirkan manajemen dagang/toko, yang penting barang habis duit kumpulllll…Amiin…….*terbukti kok sekarang sudah tajir*

Siapa sangka gaya pengawasan terpadu dan melekatnya Bu Haji n crew, akhirnya menimpa juga pada kami yang sebelumnya tidak sampai terpikir bisa bakal mengalami hal serupa seperti anak-anak, malahan ini lebih tragis dan menyedihkan. Beberapa bulan yg lalu kami (saya, suami saya dan Farras) berkunjung ke toko tersebut untuk memenuhi permintaan Farras yang ingin memiliki sebuah mobil-mobilan yang dia lihat di rumah tetangga. Mobil Ambulance yang dia minta,,,nguing..nguing…nguing…begitu dia menirukan suara mobil tersebut. Sebagai ortu, selagi ada, kami langsung memenuhi permintaannya. Seperti biasa sore itu, tempat Bu Haji ramai dipadati pengunjung, baik pedagang eceran ataupun perorangan. Terlihat Bu Haji begitu sibuk menerima dan melayani uang (yang kebayakan sudah lecek) kembalian dari para customernya. Seperti biasa dengan wajah tanpa senyum (setengah jutek) dan tanpa ada basa-basi “say thanks” pada customernya, beda banget dengan para kasir di mall-Mall, yang cantik dan selalu mengumbar senyuman ke setiap pengunjung *tuntutan manajemen kali ya* bisa-bisa kering itu gigi kebanyakan nyengir
J. Kami mulai bergerilya untuk memilih mainan yang bagus dan sesuai permintaan anakku Farras. Sempat beberapa kali bolak-balik memilih beberapa mainan, yang ini terus gak jadi, ganti lagi dan gak jadi lagi.. sampai akhirnya karyawan perempuan yang masih muda nyeletuk pada suami saya, karena memang yang wara-wiri menukar mainan adalah suami saya : “Udah dong pak jangan milih-milih teruuus….” *sekarang bener-bener dengan menunjukan paras jutek*. Suami saya terlihat kaget ditegur begitu, saya juga ikut kaget dan sempat berpikir apa ini hasil kaderisasi/training dari sang bos/majikan yang memang agak setengah jutek, atau memang sudah merasa tertekan dengan sistem yang diterapkan majikan. Wallahu A’lam, suami saya gak mau kalah menjawab : “Namanya juga anak-anak mbak, lagian kita kan pembeli, harus dilayani dengan ramah dong…”  *kali ini suami saya ikut-ikutan bernada jutek pula*, saya hanya diam, karena memang dasarnya tidak pernah banyak bicara, walau sebenarnya bisa lebih jutek lagi dari si mbak dan suami saya hehehe… Sampai akhirnya suami saya ngeloyor dan sambil ngomong ke si mbak : “Saya akan bayar nih langsung, mbak liatin ya??” Murah memang mainannya, cuma Rp.25,000,- sambil melangkah ke tempat Bu Haji, saya berbisik : “Yah, masih ngomel-ngomel tuh si mbaknya.” 
“Biarin ajalah Bu.” Suami saya menjawab.

Sempat ngantri kami di depan Bu Haji, karena kebetulan banyak yang sedang melakukan transaksi, ya…. tanpa nota memang, bayar sesuai harga dan langsung boleh dicoba, complain barang dilayani saat itu pula, begitu keluar toko, pelayanan “after sales services” tidak berlaku lagi. Sambil tetap melayani yang lain, Bu Haji pun menghandle pembayaran barang yang saya beli, sambil sedikit berteriak ke si mbak “pireu iki (berapa ini)”, menanyakan harga barang yang saya bawa. ”25 ribu..” Sahut si mbak. Saya mengeluarkan dompet, dan mengeluarkan uang Rp.50rb-an, lalu memberikan pada suami saya, dan suami saya memberikan pada Bu Haji sambil sibuk mengerjakan yang lain, Bu Haji memberikan uang kembalian 2 10rb-an, 1 5rb-an. “Maksih ya Bu Haji??”  “Ya..” sahut Bu Haji pendek sambil tidak menatap ke  wajah suami saya, karena dia sedang sibuk melayani….maklumlah saya…. Tiba sekarang mainan dicoba, sambil dipandu pelayan cowok, si ambulance berputar-putar kesana-kemari, dan saat bersama pun terlihat seorang anak sedang mencoba mainan pesawat yg menurut saya lebih menarik…,anak saya melirik, dan langsung bilang ke ayahnya :..”Yah itu aja…sambil menunjuk mainan tersebut.” Suami saya nanya pada pelayan: “Bisa tukerkah?” si pelayan mengangguk, dan memang kebetulan punya harga yang sama. Langsung suami saya menuju ke si mbak tadi,dan kali ini suami saya lebih lembut sambil mohon maaf untuk menukar barang tersebut, dan suami saya bilang bahwa dia sudah membayar tadi ke Bu Haji, si mbaknya mengangguk menyetujui, lebih cool.. karena memang suami saya saat itu menunjukan rasa bersalah. Alhamdulillah….,Pesawat pun dicoba,,, terlihat senang anak saya melihat mainan layaknya pesawat beneran yang sedang ancang-ancang lepas landas, bungkus mang!! dan suami saya lalu kembali menghampiri Bu Haji *seharusnya tidak suami saya lakukan* untuk bilang bahwa mainan tadi saya tukar dengan harga yang sama….Bu Haji mengangguk, dan terlihat jelas bahwa Bu Hajji sedang mengingat sesuatu… beberapa langkah lagi kami keluar toko, tiba-tiba suami saya ditegur seorang pelayan ”Pak dipanggil Bu Haji.” Ups….suami saya terlihat kaget, begitu pun saya, “Ada apa Bu Haji?” Tanya suami saya.  ”Bapak belum bayar ya tadi?” Kata Bu Haji.  Saat itu suami saya terlihat kaget sekali, dan langsung saja suami saya menerangkan, bahwa suami saya sudah bayar, saya yang mengeluarkan uang dengan nominal 50rb dan suami saya juga menyebutkan jumlah pecahan yang Bu Haji berikan pada suami saya. Lalu suami saya menunjukkan uang kembalian yg ditaro di kantung baju saya. Bu Haji tetep saja nggak ngerasa bahwa dia sudah menerima uang, walau saya pun ikut meyakinkan dia, malah sempat saya terpancing mengucapkan sumpah segala “DEMI Allah Bu Haji”,yang kemudian suami saya ingatkan untuk tidak berkata seperti itu.”Terus maunya Bu Haji gimana, kami sudah mengatakan dengan jujur, tapi tetep saja Bu Haji tidak percaya”,…..”Gak tau saya, yang jelas saya gak ngerasa menerima.” Kesel saya saat itu, juga suami saya. Suami saya terlihat sangat emosi. Akhirnya suami saya mencoba mencari dukungan pada karyawan-karyawan disana, karena kami yakin beberapa orang melihat kami melakukan transaksi dengan pecahan uang Rp.50rb. Di luar dugaan, semua karyawan hanya diam, tidak ada jawaban satu patah katapun. Saat itu seluruh pengunjung sudah mulai memperhatikan perdebatan kita. Memang lumayan keras suara suami saya, karena emosi yang setengah terkendali.,..saat itu suami saya terlihat buntu untuk mengeluarkan kata-kata yang bisa meyakinkan Bu Haji yang sudah trauma dan mengalami krisis kepercayaan pada siapapun. Suami saya menghela nafas panjang dan mencoba kembali mengatakan dengan sejujurnya *kali ini dengan suara yg lembut* siapa tau Bu Haji bisa 100% percaya pada kami. Hah memang udah dasar wataknya, dia tetep aja bilang bahwa dia gak pernah menerima pembayaran dari saya. Saya melihat suami saya mencoba melihat satu persatu karyawan-karyawan yang ada disana, terlihat memang semuanya diam netral, entah apa yang sedang mereka pikirkan, mendukung sayakah, atau sebaliknya mendukung majikan. Sampai akhirnya mata suami saya tertuju pada seorang cewek muda disamping Bu Haji,yang tadi sepertinya terlupakan untuk suami saya tanya, keliatannya sih anaknya, karena dia pun membantu beberapa menghandle transaksi di toko tersebut, dia pun diam, mungkin sambil mengingat-ingat.

Uang yang diributkan jumlahnya relatip kecil, tapi kalau kami membayar ulang, itu berarti Bu Haji akan menambah yakin kalau kami belum bayar. Itu yang tidak saya inginkan. Ini masalah harga diri, bukan hanya uang……. apalagi seisi toko sudah memperhatikan perdebatan kita. Sempat saya berbisik menyuruh membayar lagi. Tapi saat itu sudah kepalang tanggung. Sepertinya suami saya penasaran sampai dimana keteguhan Bu Haji utuk meyakini apa yang dia pikirkan. Disela-sela kepenatan dan sedikit emosi, suami saya akhirnya mulai mengambil langkah negosiasi lagi. Kali ini agak sedikit menggunakan trik : menyerah, tapi uang itu berharap kembali lagi pada kami….””*dengan nada pelan* suami saya berkata : ”Oke Bu Haji, saya mau serahkan uang ini, tapi tidak untuk membayar mainan ini, tapi ini ikhlas dari saya untuk bersodakoh/infak pada Bu Haji, dari kami bertiga….” Tepat yang suami saya duga, Bu Haji langsung mendorong tangan saya sambil berkata : “Hah…. enak aja, saya gak mau kalo disodakohi, la wong saya cukup.” *kali ini Bu Haji terlihat lelah menghadapi pengakuan saya* Suami saya terlihat senang, emosi dan ego Bu Haji sudah berhasil dikuasai suami saya, dan entah kenapa suami saya yakin banget bahwa semua perdebatan akan berakhir. Terakhir suami saya  bilang “Bu Haji ini gimana….. saya mengatakan dengan jujur, Bu Haji gak percaya, terus saya mengalah, Bu Haji juga gak mau nerima, terus Bu Haji maunya apa???” Kali ini suami saya sudah di atas angin. Kami melihat Bu Haji agak sedikit gugup, walau dia masih kekeh aja dengan keyakinannya, sampai akhirnya gadis yang disamping Bu Haji mendekat dan berkata lirih: “Mak… iyeu uwis bayar Bapak iku (bu,iya bapak itu udah bayar).” ”Udu sing mau jeh ngomong.” (bukan dari tadi bilang) jawab Bu Haji. Saat itu juga suami saya langsung menyambar bicara: ”Iya khan Bu Haji, bener kami udah bayar, la wong pada diem semua ditanya, makanya lain kali hati-hati menuduh orang.” Dan kami pun balik kanan menuju keluar tentu dengan sedikit mengumpat. Di depan toko seorang pengunjung bapak-bapak bilang, Bu Haji emang begitu mas, suami saya jawab dengan senyum kecut aja dan langsung pulang. Di perjalanan suami saya bilang pada saya: ”Kita gak usah kesana lagi, cukup terakhir tadi, kesian Bu Haji nanti kalo ketemu kita lagi, dia akan malu.” Justru sekarang yang kami bingungkan, sampai akhir perselisihan Bu Haji gak pernah yakin dengan pengakuan kami. Kami terbebas dari tuduhan karena seorang pegawai (mungkin saudara/anaknya) melaporkan bahwa dia melihat kita bertransaksi, walau awalnya penuh keraguan dan akhirnya terlambat, gak selamanya pengakuan yang jujur dan pasrah, bisa begitu aja dipercaya orang lain. Ato jangan-jangan penampilan kita yang dianggap seperti penipu???? :D

**Maafkan kami Bu Haji, jika telah membuatmu tak percaya dan sempat menyinggung perasaan dan sebaliknya kami sudah memaafkan, jika memang Bu Haji merasa bersalah**
Waalahu A’lam..

,
**foto lokasi sengaja tidak ditampilkan, untuk menjaga nama baik.

32 comments:

  1. ..gak ada bukti kalau kita sudah bayar ya...males deh kesanan lagi kalau dah kayak gitu ya,,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, seharusnya ada nota ya... jadi gak semrawut

      Delete
  2. Sikap yang aneh. Dia nggak tahu bahwa pembeli adalah raja. Dia mungkin nggak tahu jika tersenyum itu shodaqoh.
    "Jika tidak bisa tersenyum jangan membuka toko," kata pepatah Cina.
    Semoga Bu Haji bisa merubah sikapnya, kasihan.
    Terima kasih artielnya
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Pak De, suatu sikap yg aneh. Semoga bu haji bisa merubah sikapnya, memang kasihan

      Delete
  3. Lain kali jangan ke sana lagi mbak .... ck ck .. gak niat apa usahanya langgeng itu bu haji

    ReplyDelete
    Replies
    1. mulai detik itu, sampai skrg, saya gak pernah ke toko itu lagi

      Delete
  4. Iya harusnya ada nota yah mba kalo orangnya ga percayaan gitu

    ReplyDelete
  5. welaaah, susah juga ya mengurusi bisnis tapi tanggung.

    ReplyDelete
    Replies
    1. bisnisnya sih besar mak, banyak pembelinya, tapi mengelolanya buruk

      Delete
  6. wah ikut kesel bacanya juga hehe
    kirain hanya d sinetron aja bu haji yang kaya gitu... :D

    ReplyDelete
  7. yaaaah, pelanggan setia satu kabur padahal mencari pelanggan setia susah itu :|

    ReplyDelete
    Replies
    1. tapi pelanggannya masih banyak lho... saya juga gak ngerti kenapa?

      Delete
  8. udah ga percayaan, pikun, galak pula...
    suaminya bijak sekali, klo saya mungkin udah lempar uang 25ribu ke mukanya bu haji hihihi...

    ReplyDelete
  9. hh... ikutan kesel sambil ngebayangin ekspresi jutek bu haji.....

    ReplyDelete
  10. Haduuuuuuuuuh,,, kesel juga aku.. hehe

    ReplyDelete
  11. Jadi ikut mbayangin saya ada disana pas kejadiannya..
    Sabar ya Mak, cukup sekali aja kesananya, buat pengalaman hehehe

    ReplyDelete
  12. Saya kira yang beginian cuma ada di sinetron saja ...
    ternyata ada ya di alam nyata ... di kejadian yang sebenarnya ...

    Saya hanya bisa berharap ... semoga beliau bisa berubah ...

    Salam saya

    (6/3 : 4)

    ReplyDelete
  13. Masih saja banyak org spt bu "Haji" begitu ya....Semoga mereka mendapat hidayah ya mbak...

    ReplyDelete
  14. Komentar teman2 diatas cukup mewakili... Knapa nggak ada nota ya... Mudah2an bu haji bisa introspeksi ya.., bu haji baru sj kehilangan pelanggan yg setia ya..

    ReplyDelete
  15. kenapa ga ada nota ya, mba? ini yang bikin bingung. meski tokonya sedang ramai pun biasanya tetep ada.

    ReplyDelete
  16. duh, kl saya males balik lagi ke toko kl sy yang ngalamin

    ReplyDelete
  17. Lengkap yaa toko mainannya?? Pasti pada ga mau pulang tuh ya ade nya :)

    ReplyDelete

terima kasih sudah memberikan komentar, kritik dan saran