Wednesday, November 14, 2018

Kemacetan di Jakarta, Bisa Menjadi Sumber Penyakit Warga Ibukota


Saya pernah tinggal di Jakarta mungkin sekitar 3 tahunan, dari tahun 1994 s/d tahun 1997. Berdomisili di Jakarta bukanlah hal yang mudah. Bahkan di tahun ketika saya tinggal di Jakarta pun tidaklah mudah, apalagi saya sebagai pendatang. Kota dengan banyak sekali problem dan akselerasi teknologi ini mendorong setiap manusia yang hidup di dalamnya wajib sibuk dan bergerak cepat. Tapi saat ada tuntutan mobilitas, disaat yang sama keluhan tentang betapa macetnya Ibu kota negara ini kita dengar setiap harinya. Di televisi, di koran, di berita online, di jalanan, hingga di pasar kita mendengar keluhan macet ini. Tapi untungnya mobilitas saya dalam jarak tempuh yang dekat, sehingga kemacetan Jakarta masih jarang saya alami.
Berbeda dengan orang-orang yang memiliki mobilitas dengan jarak yang jauh, kemacetan pasti sudah menjadi makanan sehari-hari. Dan tahukah kalian kapan sih keluhan tentang macet paling sering kita dengar? Jawabannya adalah saat membuat janji dengan teman di satu tempat. Yup. Macet dan keluhan tentangnya selalu menjadi alasan kita saat terlambat dari jadwal yang ditetapkan sebelumnya. Iya kan? Macet terus-menerus menghambat produktivitas kita. Semisal kita punya jadwal ketemu jam 5 sore, ternyata macet dan kita sampai di tujuan jam stengah 6 sore. Dengan begini secara jelas 30 menit waktu yang seharusnya dapat menjadi output kerja akan tersita menjadi 30 menit menunggu keluar dari kemacetan yang melanda. Bagus kalau 30 menit diisi dengan dzikir, terkadang macet yang berlebih malah menghasilkan 30 menit mengumpat karena macet. Tugas tidak selesai, dosa malah makin banyak.

Kemacetan Jakarta tidak jarang membuat perasaan kita memburuk. Macet yang terlalu lama bahkan menyebabkan seseorang lebih mudah emosi. Jelas emosi itu karena apa yang direncanakannya jadi tertunda, tidak sesuai target sebenarnya. Emosi yang sering kali kita dapatkan karena macet yang terlalu lama akan sangat berdampak pada kesehatan kita. Beberapa penyakit yang berpotensi kita rasakan karena emosi saat macet adalah sebagai berikut:
  • Sakit kepala. Jangan heran jika tiba-tiba sakit kepala muncul saat emosi meluap. Otot-otot yang tegang dan juga perubahan bahan kimia di otak saat emosi meluap bisa menjadi pemicu sakit kepala.
  • Rasa cemas. Rasa cemas maupun gelisah adalah efek samping yang paling umum terjadi saat emosi tidak terkontrol. Tingginya kadar kortisol dalam tubuh saat emosi seperti itu membuat kita mudah cemas.
  • Masalah pencernaan. Efek dari emosi terus-menerus ternyata sampai menganggu sistem pencernaan. Mengapa? Hal ini disebabkan, karena sistem tubuh akan berhenti seketika saat sedang marah.
  • Tekanan darah tinggi. Saat emosi meluap-luap, tubuh menjadi tegang, sehingga bisa memicu tekanan darah tinggi. Dampak tekanan darah tinggi bisa berujung pada penyakit stroke.
  • Depresi. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa orang-orang yang sering memburuk emosinya, dalam jangka panjang akan berisiko mengalami depresi. Untuk itu, kelolalah emosi dengan baik.
  • Serangan jantung. Serangan jantung kerap terjadi ketika seseorang terlalu tinggi emosinya. Berdasarkan penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam The European Heart Journal Acute Cardiovascular Care, orang yang emosian secara intens akan meningkatkan risiko sampai 8,5 kali terkena serangan jantung.
Bahaya? Tentu saja. Hal seperti inilah  yang kemudian menyebabkan pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengurangi kemacetan. Mulai dari pembenahan transportasi umum hingga rekayasa lalu-lintas. Pak Bambang Prihartono, Kepala BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) Kementerian Perhubungan, pernah mengatakan bahwa jika lalu-lintas dapat berjalan dengan lancar, maka masyarakat kita akan tumbuh lebih baik, macet berkurang, dan lingkungan lebih sehat. Hal ini terbukti saat rekayasa ganjil-genap seharian diberlakukan, data dari BPTJ menunjukkan bahwa polutan berkurang, dan jalanan lebih lancar.
Tetapi jika pemerintah saja yang berusaha, tingkat keberhasilannya masih kurang. Kita sebagai pengguna transportasi juga perlu melakukan hal yang dapat membantu mengurangi kemacetan. Hal termudah yang dapat kita lakukan adalah dengan beralih moda transportasi. Dari menggunakan transportasi pribadi menjadi kendaraan umum. Tentu ini akan terasa sulit awalnya, apalagi sudah terlanjur nyaman naik kendaraan pribadi. Tapi bukankah perubahan untuk hal yang baik itu memang tidak pernah mudah? Kayak anak SMA yang terpaksa putus pacaran demi mendapat hasil ujian yang bagus menjelang UN. Jiaaaah. Hehehe.

Intinya kita perlu hal baru. Kita perlu berubah. Kita perlu berbuat sesuatu. Kita perlu menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang memberikan cerminan bahwa Indonesia adalah Negara yang rapi, bukan Negara yang semraut. Kita perlu menjadikan Jakarta sebagai tempat yang menyenangkan untuk tinggal, bukan menjadi tempat yang membuat kita tua di jalan. Setuju kan? Ya udah, kalau setuju kita pindah moda transportasi bareng-bareng yuk. Tapi cukup moda transportasinya yang berubah, hati kamu jangan. Hehehe.

2 comments:

  1. Sekarang sudah banyak pilihan moda transportasi, yg paling Favorit saya CL, mudah2an Angkutan Umum semakin baik dna nyaman jadi gak macet lagi ..

    ReplyDelete
  2. Walah, mbak, iya toh, kemacetan ibu kota udah bikin kepalaku pusing 7 keliling. Hampir semua orang maunya naik mobil pribadi. Jelas bahaya, ya bahaya bagi kesehatan diri sendiri. Kalo gak bisa tahan emosi, ya masalahnya jadi merembet ke mana-mana... ya bisa terjadi perkelahian di jalanan juga kan yah... padahal masalah sepele. Kayak yg waktu itu ada dua mobil rebutan masuk duluan ke gardu tol... akhirnya ya urusan jadi panjang. Padahal kalo mau ngalah, ya yg kayak gitu sebenarnya gak perlu terjadi. Panjang deh urusan..

    Aku, satu orang di antara banyak orang yg ogah naik mobil. Kalo bisa ditempuh dengan kaki, tak lakoni sekalian. Mending jalan kaki atau naik bis. Dari kecil seneng naik transportasi umum yang rame-rame gitu sih, ya kereta... ya bis...

    ReplyDelete

terima kasih sudah memberikan komentar, kritik dan saran